FIGUR, tivibali.com- Azizi, SH., demikian nama bapak empat anak, sang Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove Kabupaten Batu Bara, yang telah hampir 20 tahun berkecimpung di upaya pelestarian kawasan pesisir dengan menanam mangrove, bersama kelompoknya. Sejak tahun 2002, Azizi telah memulai kegiatan merehabilitasi dan menanam beraneka jenis mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Batu Bara.
Aksi menanam mangrove saat itu sangat tidak populer dan dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat. Namun anggapan-anggapan miring itu diabaikan oleh Azizi dan kawan-kawan, mereka tetap melakukan aktivitas pembibitan dan penanaman mangrove.
Ini semua dilakukan mereka karena keprihatinan terhadap kondisi kawasan pesisir, di mana banyak terjadi abrasi pantai, masyarakat mengalami kesulitan dalam mencari ikan maupun kepiting akibat mangrove yang minim dan rusak, serta adanya kerusakan terumbu karang akibat penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan.
Dukungan Pergerakan
Dalam pergerakannya, Kelompok Tani Cinta Mangrove telah mendapatkan banyak dukungan, antara lain dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan melalui program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) Kabupaten Asahan (saat itu Kabupaten Batu Bara masih berada di wilayah Kabupaten Asahan) pada tahun 2006, dari BPHM (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove) wilayah Sumatera pada tahun 2010 dan 2015, dan dari BPSKL (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup) pada tahun 2018.
Kelompok Tani Cinta Mangrove juga mendapatkan support dari Polres Batu Bara, Pemkab Batu Bara, serta beberapa dukungan program CSR (Corporate Social Responsibility) seperti dari PT PLN Batu Bara, dan PT Inalum (Indonesia Asahan Alumunium).
Dukungan berbagai pihak itu membuat mereka makin bersemangat. Saat ini di kawasan pesisir Desa Gambus Laut dan Desa Prupuk, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara, Kelompok Tani Cinta Mangrove telah melakukan penanaman mangrove dengan luasan total sekitar 456 hektar, dengan turunnya Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).
Berbagai jenis tanaman mangrove ditanam di area tersebut, antara lain Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Avicennia Alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Bruguiera cylimdrica, Ceriops tagal, Nypa fruticans, Xylocarpus granatum, dan Xylocarpus molluccensis.
Tempat Mesum
Dulu di masa muda Azizi, Pantai Sejarah adalah pantai berpasir putih yang sangat indah, dan cukup ramai dikunjungi orang. Kemudian lambat laun terjadilah abrasi, pesisir Batu Bara mengalami erosi. Seiring dengan keindahan yang terkikis, maka pantai tersebut mulai ditinggalkan pengunjung.
Jadi, untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan, warga membangun pondok atau gubuk yang mereka sewakan untuk kegiatan mesum, menjadi kedai tuak, dan berbagai aktivitas lain yang terkait. Berubahlah wajah Pantai Sejarah. Pantai yang menjadi lokasi pendaratan pertama pasukan Jepang di Sumatera Utara pada tahun 1942 ini, kemudian menjadi sangat terkenal dengan konotasi negatif.
Beberapa tahun terakhir, lebih dari 50 pondok/gubuk liar disewakan warga kepada lelaki hidung belang, Warga menyewakan pondok-pondok, sedangkan untuk wanita-wanita penghiburnya datang dari luar daerah, yang dikoordinir oleh beberapa orang “induk semang”.
Aktivitas ini berlangsung hingga belasan tahun. Adanya protes dari masyarakat yang tidak setuju, sampai demo dari Ormas Islam, tak pernah berhasil menghentikan geliat ekosistem bisnis esek-esek yang telah mengakar kuat di Pantai Sejarah.
Jasa Lingkungan
Azizi dan Kelompok Tani Cinta Mangrove yang beraktivitas membibitkan dan menanam mangrove di sepanjang garis pantai di pesisir Desa Gambus Laut dan Desa Perupuk, sebenarnya juga sangat gerah terhadap kondisi problematika moral dan sosial di Pantai Sejarah. Namun dulu mereka juga tidak memiliki solusi.
Setelah pada tahun 2018 kelompok ini mendapatkan izin perhutanan sosial untuk mengelola kawasan hutan lebih kurang 456 hektar, muncullah ide besar. Mereka mendapatkan gagasan untuk mengembangkan program perhutanan sosial yang mengarah kepada jasa lingkungan, yaitu kegiatan pariwisata.
Azizi dan kawan-kawan mulai melakukan konsolidasi dengan Pemerintah Kabupaten Batu Bara, melalui Dinas Perikanan, Dinas Kepemudaan Olah Raga dan Pariwisata, Dinas Koperasi dan UKM, dan beberapa instansi terkait lainnya, serta berkoordinasi juga bersama Ketua KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Batu Bara. Ternyata gagasan Azizi tersebut disambut positif oleh Bupati Batu Bara, Ir. H. Zahir,M.Ap.
Membangun Destinasi
Menjelang akhir tahun 2020, atas usulan Azizi, Pemkab Batu Bara membangun jalan produksi perikanan sepanjang 206 meter, berupa jembatan kayu yang melintasi area hutan mangrove menjorok ke arah laut. Pembangunan jembatan ini bertujuan untuk mendukung kegiatan budidaya kerang yang banyak dikembangkan oleh anggota Kelompok Tani Cinta Mangrove, dan sekaligus dimanfaatkan untuk aktivitas wisata dan penjualan kuliner, terutama yang berbasis hasil laut.
Jembatan mangrove ini dilengkapi dengan beberapa stand kuliner di sisi kiri kanan jembatan untuk tempat masyarakat berjualan, dan beberapa kamar mandi. Di area menuju pantai dikembangkan pula beberapa atraksi wisata seperti sarana outbound dan rumah pohon, serta Museum Sejarah di bekas gedung kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Batu Bara.
Beberapa bulan sebelum proses pembangunan, dilakukanlah pembongkaran seluruh pondok dan gubuk yang sebelumnya menjadi tempat mesum. Selanjutnya, warga para pemilik pondok akan dilibatkan dalam kegiatan pengembangan wisata, sebagai pengelola, operator wisata, dan berjualan kuliner.
Perubahan Besar
Semenjak jembatan mangrove jalan produksi perikanan ini dibangun, apalagi setelah diresmikan di awal Maret 2021 yang lalu, tempat ini ramai mendapatkan kunjungan dari masyarakat yang ingin berwisata menikmati indahnya Pantai Sejarah dengan bentang alam hutan mangrove-nya.
Pemilik-pemilik pondok esek-esek dan para “induk semang” kini telah banting setir beralih ke profesi yang halal, menjadi pedagang, penjual kuliner, pengelola dan operator wisata. Tercatat tak kurang dari 70 orang pedagang berjualan di Pantai Sejarah yang kini semakin viral, menjadi salah satu destinasi wisata baru terfavorit di Kabupaten Batu Bara.
Setelah hampir 20 tahun Azizi dan Kelompok Tani Cinta Mangrove tak kenal lelah membibitkan dan menanam mangrove, akhirnya apa yang mereka perjuangkan kini mulai menampakkan hasilnya. Sinergi masyarakat pejuang lingkungan hidup dan Pemerintah Kabupaten Batu Bara telah berbuah manis.
Upaya menyelamatkan pesisir dari abrasi kini sudah berkembang menjadi sentra aktivitas ekonomi yang cukup menjanjikan. Sekaligus berhasil mengentaskan problematika moral dan sosial yang sebelumnya tak kunjung ada solusi.
Masih Banyak PR
Capaian menggembirakan di Pantai Sejarah ini tentu belum final. Perjalanan masih panjang. Masih banyak hal-hal yang perlu dikelola, dioptimalkan, dan dikembangkan lebih lanjut.
Masih terjadi banyak masalah-masalah di lapangan. Seperti halnya dalam pengelolaan parkir yang belum sinergi, adanya pungutan liar, belum selarasnya kerjasama antara pihak Pemerintah Desa-BUMDes-pengelola Pantai Sejarah, dan regulasi pendukung yang belum kuat.
Belum lagi hal-hal teknis seperti pengelolaan sampah pedagang dan pengunjung, penerapan protokol kesehatan covid-19 yang belum optimal, dan penataan kios-kios pedagang yang masih belum rapi.
Dalam hal pelestarian lingkungan hidup juga masih banyak tantangan, seperti masih adanya penebangan-penebangan liar tanaman mangrove yang telah ditanam, dan belum adanya tindakan hukum yang tegas terhadap kasus pembabatan tanaman mangrove yang sudah dilaporkan Kelompok Tani Cinta Mangrove kepada kepolisian.
Itu semua masih menjadi PR besar bersama bagi semua pihak terkait. Untuk itu, masih diperlukan adanya sinkronisasi, kolaborasi, dan sinergi antar pihak.
Sinergi dan Kolaborasi
Berkembangnya kawasan hutan mangrove Pantai Sejarah menjadi salah satu destinasi wisata andalan di Kabupaten Batu Bara, tentunya membutuhkan perencanaan dan tindak lanjut pada sisi pengembangan dan pengelolaan yang lebih profesional.
Karena itulah Pemerintah Kabupaten Batu Bara menggandeng HIDORA (Hiduplah Indonesia Raya), sebuah lembaga dari Banyuwangi Jawa Timur yang bergerak dalam bidang konsultan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat, yang berbasis pada aktivitas pelestarian lingkungan hidup, konservasi budaya, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lembaga ini melibatkan Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Medan dalam perencanaan dan kajian lebih lanjut untuk pengembangan wisata Pantai Sejarah yang berbasis pengelolaan oleh masyarakat.
Dari analisa kajian HIDORA dan UNPAB, spirit yang dibangun bertahun-tahun oleh Azizi dan Kelompok Tani Cinta Mangrove adalah modal utama yang dimiliki Pantai Sejarah. Bahkan sudah selayaknya perjuangan mereka mendapatkan apresiasi dan penghargaan dari pemerintah pusat, karena apa yang mereka lakukan ini sangat riil dan inspiratif, perlu ditularkan ke daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Batu Bara juga telah cukup optimal mendukung upaya Azizi dan kawan-kawan, dengan membangun berbagai sarana serta prasarana penunjang, sampai pada perencanaan untuk pengembangan lebih lanjut.
Lestarinya hutan mangrove, terjaganya pesisir dari abrasi, berkembangbiaknya ikan dan biota laut, tumbuhnya UMKM dan kuliner lokal, meningkatnya kesejahteraan warga, dan berhentinya kegiatan mesum, semua berada dalam gerbong program besar pengembangan destinasi wisata Pantai Sejarah.
Selanjutnya tinggal bagaimana dilakukan langkah-langkah profesional dalam pengelolaan program, mengkolaborasikan dan mensinergikan antar pihak terkait dengan duduk bersama, penguatan hukum dengan menerbitkan regulasi-regulasi penunjang, perencanaan pengembangan, dan memfasilitasi bagaimana apa yang telah dilakukan masyarakat ini bisa terjembatani untuk mendapatkan dukungan langsung dari pemerintah provinsi sampai pemerintah pusat.
Bupati Batu Bara, Ir. H. Zahir,M.Ap. mengungkapkan bahwa dulunya Pantai Sejarah ini termasuk pantai yang sangat indah. Untuk itu saya berusaha untuk menjadikan Pantai Sejarah ini sebagai destinasi wisata yang bisa kembali menarik, dengan berbagai pembangunan dan melestarikan hutan mangrove. Tentunya untuk mencapai keberhasilan ini, mari kita bekerja sama dan saling mendukung antara masyarakat dan pemerintah Kabupaten Batu Bara.
Sementara itu menurut Kepala Dinas Kepemudaan Olah Raga dan Pariwisata Kabupaten Batu Bara, Drs. Safri Musa, MM., Pantai Sejarah memiliki potensi wisata alam, potensi wisata sejarah, dan wisata konservasi lingkungan hidup. Dalam mengembangkan destinasi pariwisata, aspek lingkungan hidup, budaya, sosial, dan ekonomi, menjadi unsur utama pembangunan kepariwisataan. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Batu Bara berusaha semaksimal mungkin untuk memfasilitasi gerakan-gerakan positif yang bersumber dari masyarakat.
Sejalan dengan itu Bachtiar Djanan, Wakil Ketua Perkumpulan HIDORA, konsultan perencanaan pengembangan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat dari Banyuwangi, Jawa Timur menuturkan bahwa pergerakan Pak Azizi dan Kelompok Tani Cinta Mangrove selama hampir 20 tahun adalah contoh luar biasa dalam hal inisiatif dan upaya masyarakat melestarikan lingkungan hidup. Sudah selayaknya pemerintah pusat mengapresiasi perjuangan Pak Azizi.
“Saya rasa penghargaan Kalptaru sangat layak diberikan kepada Pak Azizi, atas keberhasilannya membuat perubahan besar dalam menyelamatkan lingkungan dengan menanam mangrove di kawasan pesisir Batu Bara seluas lebih dari 450 hektar, meningkatkan kesejahteraan warga, dan memberi solusi kepada masyarakat untuk mengatasi permasalahan moral dan problem sosial”, ungkapnya.
Di sisi lain Dosen Arsitektur Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Medan, Sri Shindi Indira, ST., MSc., berpendapat bahwa pengembangan wisata mangrove jika memang berangkatnya dari spirit grassroot untuk melestarikan kawasan pesisir tentu akan bisa bertumbuh secara sustainable. Tinggal bagaimana dalam rencana pengembangan ke depan, penataan kawasan dan fungsi-fungsinya bisa didesain selaras dengan segmen pasar yang dibidik, dengan mengedepankan prinsip bahwa wisata mangrove semestinya dikembangkan dalam konsep dan pola wisata edukasi, bukan sekedar lokasi wisata untuk selfie.
“Sehingga saat pengunjung datang ke destinasi wisata, ketika mereka pulang mereka mendapat ilmu baru dan terinspirasi oleh spirit pelestarian alam yang dibangun oleh Pak Azizi dan tim”, ujar Sri Shindi Indira yang kabarnya jebolan S-2 Wageningen University Belanda.
Penulis: Team Redaksi tivibali.com
Editor : Ali Wibowo