DENPASAR, tivibali.com- Bertempat di Gubug Makan Segara Bumbu Peguyangan, Bank Indonesia kembali menggelar Capacity Building Media yang kali ini mengambil tema Kerangka Kebijakan Moneter dengan pemateri Rizki Ernadi Wimanda, Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali dan Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE., MM., Dekan fakultas Ekonomi Undiknas Denpasar, pada Selasa (22/6/2021).
Rizki Ernadi Wimanda menyebutkan bahwa Kebijakan Ekonomi itu sejatinya untuk meningkatkan social welfare (Kesejahteraan sosial), hal ini dapat dilihat dari beberapa Indikator, yang pertama pertumbuhan Ekonomi, yang kedua Inflasi rendah dan yang ke tiga adalah tingkat pengangguran rendah.
Lebih jauh dirinya menerangkan bahwa Kebijakan moneter, kebijakan Fiskal termasuk dengan nilai tukar itu termasuk di mindset, jadi yang dipengaruhi oleh Bank Indonesia, kementerian keuangan adalah dari sisi permintaan (Demand), bukan dari sisi suplai. “yang di sisi suplai adalah kebijakan sektoral, misalkan kebijakan kementrian pertanian, kementrian Pertambangan, Kementrian Tenaga Kerja yang langsung menjurus kepada fungsi-fungsi produksinya”, terangnya.
Pada dasarnya kebijakan moneter itu mengelola kegiatan ekonomi dari sisi permintaan yaitu mengelola kegiatan ekonomi dalam rangka mengurangi fluktuasi yang terlalu berlebihan baik pada waktu pertumbuhan ekonomi menurun maupun pada waktu pertumbuhan ekonomi melebihi potensialnya.
Lebih jauh Rizki Ernandi Wimanda menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi di masa pandemi ini berada di siklus yang paling bawah dan peran kebijakan moneter sangat di butuhkan agar pertumbuhan ekonomi tidak terlalu turun, demikian juga pada saat ekonomi sedang tinggi-tingginya Bank Sentral (BI) harus meredam pertumbuhannya agar tidak terjadi inflationary pressures atau tekanan inflasi.
“Dalam kaitan tujuan kebijakan moneter Bank Indonesia memiliki tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, baik itu kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain”, ungkapnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak Juli 2005, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter ITF yang merupakan kerangka kerja kebijakan moneter yang secara transparan dan konsisten di arahkan untuk mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan. Untuk diketahui bahwa prinsip pokok ITF adalah memiliki sasaran utama; sasaran Inflasi yang dijadikan sebagai perioritas pencapaian dan acuan kebijakan moneter, selain itu juga bersifat antisipatif dengan mengarahkan respons kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.
Prinsip pokok kerangka kebijakan moneter ITF juga mendasarkan pada aturan (rule based) namun cukup flexibel dalam operasionalisasinya, selain itu sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu memiliki tujuan yang jelas, transparan, akuntabel dan kredibel.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali menyebutkan bahwa berdasarkan rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 16 s/d 17 Juni 2021, Bank Indonesia menetapkan BI 7-Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,50%. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga serta sebagai upaya untuk memperkuat pemulihan ekonomi.
Dalam kesempatan yang sama Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE., MM. Dekan Fakultas Ekonomi Undiknas dalam materi Transformasi Ekonomi Bali menjabarkan bahwa perekonomian Bali sejak pandemi covid-19 mengalami keterpurukan karena 68% bergantung pada sektor pariwisata, namun dalam kondisi saat ini sektor yang masih bisa bertahan adalah sektor Kesehatan dan Telekomunikasi dan yang masih bergerak adalah kuliner, industri rumahan dan industri kreatif.
Sektor-sektor yang akan menjadi tujuan tranformasi ekonomi Bali kedepan yaitu; pertanian modern, industri kreatif, refocusing pariwisata, pendidikan dan pembayaran digital. “Sektor pertanian di Bali hampir semua kabupaten memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, kecuali Badung dan Denpasar”, ujarnya.
Dirinya menyebutkan bahwa di sektor Industri hilirisasi hasil pertanian masih banyak yang belum di garap maksimal seperti salak karangasem, harusnya bisa dibuat Industri makanan berupa camilan salak, hasil tomat bisa dibuat saos tomat.
Tantangan saat ini adalah bagaimana mengubah mindset pemuda Bali terhadap pertanian, dimana menurut sebagian besar pemuda saat ini bertani itu kotor, selain itu adalah terkait dengan kompetensi SDM disektor pertanian. Sehingga keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian sangatlah penting. (MAW)