BERANDA

Rani Jambak dan Kincia Aia: Menghidupkan Teknologi Leluhur dalam Instalasi Interaktif di ICAD 2024

Ket Foto : Rani Jambak dan memparekraf sandiaga uno di ajang Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) 2024.

JAKARTA, tivibali.com- Seniman dan komposer Indonesia, Rani Jambak, kembali mencuri perhatian melalui karya instalasinya yang berjudul Kincia Aia: Malenong M(A)so di ajang Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) 2024. ICAD adalah pameran seni dan desain yang telah digelar sejak 2009, menjembatani berbagai disiplin ilmu seperti fesyen, film, perhotelan, teknologi, dan makanan. Acara ini bertujuan untuk mendekatkan seni dan desain kepada masyarakat luas melalui pengalaman unik yang merespons ruang hotel.

ICAD 2024 yang berlangsung sejak 10 Oktober sampai 10 November 2024 di Hotel Grandkemang, Jakarta Selatan, menghadirkan karya-karya dari 74 partisipan yang terbagi menjadi tujuh kategori, seperti Special Appearance Tribute, In Focus, dan Collaboration. Seluruh karya ditampilkan dalam empat zona berbeda, dengan program aktivasi harian seperti Performance Art, Workshop, dan Public Lecture.

Karya Rani menggabungkan teknologi tradisional kincia aia (kincir air) dari Minangkabau dengan elemen musik dan teknologi digital. Hasilnya adalah instalasi interaktif yang tidak hanya estetis, tetapi juga menyuarakan keresahan Rani terhadap kondisi lingkungan yang semakin memburuk.

Di tengah instalasi, pengunjung dapat menemukan instrumen musik tradisional Minangkabau, seperti talempong dan balok kayu, yang bisa dimainkan untuk menciptakan komposisi musik unik. Suara yang dihasilkan merupakan hasil interaksi antara alat-alat musik tradisional dan teknologi sensorik digital yang merespons sentuhan atau gerakan.

“Saya ingin karya ini bisa menghubungkan kita kembali dengan budaya leluhur dan alam,” ujar Rani. Ia juga menambahkan, “Jika kincia aia sudah tidak lagi hadir di kehidupan masyarakat Minangkabau, itu berarti tanda alam kita sedang tidak baik-baik saja.”

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, turut mengapresiasi karya ini. “Ini keren banget, mesti dibawa ke desa wisata nih, buat jadi instalasi di sana,” ucapnya, mendorong agar karya Rani diperkenalkan di desa wisata untuk menarik minat masyarakat terhadap seni dan teknologi tradisional.

Sebelumnya, pada tahun 2022, Kincia Aia didesain oleh Rani sebagai instrumen musik yang dimainkan dalam pertunjukan musik. Instrumen ini lahir dari program Musicians in Residence yang diselenggarakan oleh British Council, dengan tuan rumah Huddersfield Contemporary Music Festival.

Tahun ini, Kincia Aia dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah instalasi interaktif, dan Rani kembali berkolaborasi dengan British Council untuk menambah kedalaman karya dan memperluas pengalaman interaktif bagi pengunjung.

Dalam budaya Minangkabau, kincia aia telah digunakan selama lebih dari dua abad sebagai teknologi untuk mengairi sawah dan menumbuk bahan makanan menjadi tepung. Namun, teknologi yang dulunya umum ini kini semakin jarang terlihat. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber daya utama untuk memutar kincir mulai mengering akibat perubahan lingkungan.

“Selama riset untuk karya ini, saya kesulitan menemukan sungai dengan arus deras untuk memutar kincir air. Ini tanda jelas bahwa ada yang salah dengan lingkungan kita,” kata Rani. Melalui Kincia Aia, ia menghidupkan kembali kecerdasan leluhur Minangkabau dalam menghadapi tantangan alam.

Rani percaya teknologi tradisional ini masih relevan, terutama di tengah isu perubahan iklim dan krisis lingkungan. “Kita harus merayakan kecerdasan leluhur kita. Jika tidak dirayakan dan dilestarikan, generasi muda mungkin akan melupakan kekayaan budaya ini,” katanya.

Sejarah panjang kincia aia juga pernah dicatat lebih dari 200 tahun lalu oleh Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. Dalam buku tersebut, ia mengamati penggunaan kincir air dari bambu untuk mengairi sawah di sekitar Danau Singkarak dan Batang Kuantan, menyoroti kemajuan teknologi ini dibandingkan dengan daerah lain.

Namun, seiring berkembangnya teknologi modern, keberadaan kincia aia terancam punah. Saat ini, hanya tersisa beberapa kincir air di Sumatera Barat, yang kebanyakan sudah tidak berfungsi.

Dengan karya Kincia Aia, Rani mencoba menyuarakan pentingnya merawat warisan teknologi leluhur ini, tidak hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga sebagai inspirasi untuk masa depan. “Melalui kincia aia, kita belajar tentang sejarah dan menghargai leluhur kita,” kata Rani. “Ini tentang bagaimana kita bisa merawat teknologi tradisional yang cerdas ini agar tidak punah.”

Rani Jambak dikenal sebagai seniman, musisi, dan komposer yang fokus pada eksplorasi komposisi berbasis soundscape. Sebagai “pemburu suara,” ia merekam suara-suara dari lingkungan sekitar dan mengolahnya menjadi karya musik yang unik.

Karyanya yang berbasis soundscape telah membawanya ke panggung internasional. Pada tahun 2022, Rani memenangkan penghargaan internasional bergengsi, The Oram Awards, di Inggris, yang mengakui inovasinya dalam menggabungkan teknologi tradisional dan digital.

Instalasi Kincia Aia di ICAD 2024 ini bukan hanya karya seni yang memukau secara visual, tetapi juga sarat makna. Karya ini berfungsi sebagai refleksi atas krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini, sekaligus menghargai kecerdasan leluhur. (mtb)