Menjejak Perjalanan dan Pemikiran Sound of Borobudur

Foto saat pertama kali Lauching Sound of Borobudur, pada tahun 2016.

ARTIKEL, tivibali.com- Borobudur merupakan warisan mega perpustakaan yang menyajikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang telah dicapai oleh leluhur kita pada 13 abad silam. Berbagai kisah dengan nilai pengetahuan dan pesan moral telah diwariskan oleh nenek moyang kita untuk generasi berikutnya. Borobudur adalah literatur dan dokumentasi perjalanan lelaku leluhur kita. Pada dinding-dinding candi yang dibangun di masa wangsa Syailendra ini terdapat 1.460 panel relief cerita dan 1.212 panel relief dekoratif.

Sementara, Sound of Borobudur menjadi sebuah movement (gerakan) yang bersumber dari gagasan untuk membunyikan kembali berbagai alat musik yang wujudnya terpahat dalam relief-relief candi, dan menjadi bukti kebesaran peradaban leluhur bangsa Indonesia yang telah mendunia pada masanya. Gerakan ini didesain untuk dapat menjadi “pemantik” dalam membangun kebanggaan bangsa Indonesia terhadap kekayaan budaya leluhur, sekaligus sebagai media untuk menemukan rumusan agar potensi ini dapat memberikan dampak positif langsung bagi masyarakat, khususnya warga di sekitar candi Borobudur.

Lahirnya Gerakan Gagasan Sound of Borobudur lahir pertama kalinya pada pertengahan Oktober 2016, dalam rangkaian kegiatan Borobudur Cultural Feast, yang meliputi aktivitas “Sonjo Kampung” dan selebrasi pentas seni budaya di lima panggung. Saat itu tim Japung Nusantara (Jaringan Kampung Nusantara) yang terdiri dari Trie Utami, Rully Fabrian, Redy Eko Prastyo, KRMT Indro Kimpling Suseno, dan Bachtiar Djanan, sedang berdiskusi mempelajari
literatur buku foto-foto karya Kassian Cephas tentang relief Karmawibhangga di kediaman KRMT Indro Kimpling Suseno, sang pemrakarsa Borobudur Cultural Feast. Pada literatur tersebut ditemukan foto-foto alat musik di relief Karmawibhangga yang bentuknya cukup
jelas. Bergulirlah gagasan untuk dapat menghadirkan kembali alat-alat musik yang tergambar pada relief Karmawibhangga ini dalam wujud fisik serta membunyikannya kembali. Saat itu disepakati untuk merekonstruksi tiga instrumen musik dawai, yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151. Pengerjaan pembuatan tiga alat musik ini dipercayakan kepada Ali Gardy Rukmana, seniman muda dari kota Situbondo, Jawa Timur. Ketiga buah dawai ini ditampilkan di depan publik untuk pertama kalinya pada acara Sonjo Kampung yang bertempat di Omah Mbudur, Dusun Jowahan, Desa Wanurejo, kecamatan Borobudur. Kemudian alat-alat musik ini diluncurkan dalam acara pembukaan Borobudur Cultural Feast pada tanggal 17 Desember 2016, di lapangan Lumbini yang berada di area Candi Borobudur.

Dalam launching ini dibawakan tiga buah komposisi yang dimainkan oleh Dewa Budjana, Ali Gardy, Redy, Eko Prasetyo, Rayhan Sudrajat, John Arief, dan Agus Wayan Joko Prihatin. Sementara Trie Utami tampil sebagai vokalis, sedangkan koreografer sekaligus penari Didik Nini Thowok merespon komposisi dengan tari.

Eksplorasi Lanjutan Trie Utami dan tim tidak berhenti di acara peluncuran tersebut. Ia berinisiatif untuk terus bergerak mengeksplorasi, meriset, mewujudkan, dan membunyikan kembali berbagai alat musik yang tepahat di relief-relief Karmawibhangga, Jataka, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha di candi Borobudur.

Hasil eksplorasi tersebut menghasilkan temuan lebih dari 200 relief yang terdapat di 40 panel di candi ini, menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik, seperti alat musik musik kordofon (petik), aerofon
(tiup), idiofon (pukul), dan membranofon (membran). Sebagian alat-alat musik tersebut masih dapat kita jumpai hari ini dan dimainkan di seluruh pelosok 34 provinsi di Indonesia, serta menyebar ke 40 negara di seluruh dunia.

Pada bulan Januari 2017, Sound of Borobudur melakukan penampilan keduanya, disaksikan oleh Menteri BUMN, Rini Mariani Soemarno, di Balkondes (Balai Ekonomi Desa) Karangrejo, pada kegiatan BUMN Hadir
Untuk Negeri “Explore Borobudur”, dengan formasi 8 musisi. Selanjutnya, pada acara Borobudur International Festival 2017 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 28 sampai 30 Juli 2017, pergelaran seni budaya lintas bangsa ini ditutup oleh pementasan Sound of Borobudur, masih dengan formasi player 8 orang personil. Lambat laun, Sound of Borobudur semakin serius untuk melakukan pengembangannya, dengan melibatkan Purwa Tjaraka, sebagai musikus dan komponis senior yang karya-karyanya banyak menghiasi
film-film layar lebar dan sinetron Indonesia, serta sebagai pendiri Purwacaraka Music Studio yang telah
tersebar lebih dari 50 cabang di berbagai kota di Indonesia.

Pada tanggal 6 Januari 2020, Sound of Borobudur tampil dalam puncak acara Festival Pamalayu yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat di Candi Padang Roco, Kabupaten Dharmasraya. Dengan formasi 14 personil dan instrumen yang semakin bertambah, hasil dari proses merekonstruksi kembali satu-persatu alat-alat musik yang tergambar di relief, mereka membawakan berbagai komposisi yang tengah digarap dalam proses rekaman album Sound of Borobudur. Pengumpulan data, wawancara, riset studi literasi, dan rekonstruksi pembuatan alat-alat musik yang bentuknya diambil dari pahatan relief Borobudur, dilakukan dari tahun 2017 sampai 2019, termasuk di mengumpulkan berbagai alat musik yang hari ini masih ada dan dimainkan di berbagai penjuru Nusantara.

Saat ini, Sound of Borobudur telah berhasil melakukan rekonstruksi alat musik sebanyak 18 instrumen dawai dari kayu, 5 instrumen berbahan gerabah, dan satu buah instrumen idiophone yang terbuat dari besi. Kini Sound of Borobudur telah berkembang menjadi sebuah orkestra yang telah melibatkan 40 musisi dalam proses penciptaan, aransemen, dan album rekaman yang berisi 12 komposisi lagu, yang semuanya
dimainkan dalam beragam instrumen yang berasal dari relief Borobudur, dengan Purwa Tjaraka sebagai
Executive Producer. Pertanggung jawaban Akademik Sejak tahun 2016, gerakan Sound of Borobudur telah melakukan banyak proses yang tak terhitung.

Dalam perjalanan panjang tersebut, lahir dan berkembanglah berbagai rumusan dan gagasan yang diharapkan dapat semakin menguatkan berbagai ranah strategis yang dapat diusung oleh gerakan ini. Untuk membuat sistematika manajemen yang lebih efektif, efisien, dan terukur dalam konteks Sound of Borobudur sebagai sebuah gerakan, maka kemudian Sound of Borobudur dikelola dalam sebuah wadah Yayasan Padma Sada Svargantara, yang diinisiasi oleh Trie Utami, Ir. Purwa Tjaraka, Dewa Budjana, Ir. Rully Fabrian, Santi G. Purwa, dan Budi Setiawan (Budi Dalton).
Sound of Borobudur berupaya untuk melakukan pertanggungjawaban secara ilmiah mengenai gagasan membunyikan alat-alat musik yang berasal dari relief di candi Borobudur, melalui sebuah Seminar dan Lokakarya daring “Borobudur sebagai Pusat Musik Dunia”, pada tanggal 7-9 April 2021 yang lalu. Kegiatan ini merupakan realisasi dan tindak lanjut dari hasil pertemuan Tim Sound of Borobudur dengan Wakil Menteri Kemenparekraf, Angela Tanoesoedibjo, dan Anggota Komisi I DPR RI, H. Muhammad Farhan beberapa waktu yang lalu.

Seminar dan lokakarya ini dibuka oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dr. H. Sandiaga Salahudin Uno, BA., MBA. Dalam kegiatan yang didukung sepenuhnya oleh Kemenparekraf ini, tak kurang dari 700 partisipan terlibat secara daring melalui perangkat aplikasi Zoom Meeting dan siaran langsung melalui situs web YouTube. Pembicara kehormatan dalam seminar yang diselenggarakan di Pendopo Omah Mbudur, Magelang ini menghadirkan Gubernur Jawa Tengah, H. Ganjar Pranowo, SH., M.IP. Selain itu, hadir pula memberikan pendapat, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Dr. Hilmar Farid, Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat., SS., MM., serta Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kemenparekraf RI, Ir. Rizky Handayani Mustafa, MBTM. Dalam sesi pembuka, penampilan Sound of Borobudur hadir menyapa dunia dengan menampilkan tiga komposisi, yaitu “Jataka” (ciptaan Dewa Budjana), “Lan e Tuyang” (lagu tradisional suku Dayak Kenyah),
dan “lndonesia Pusaka” (ciptaan Ismail Marzuki), yang dimainkan oleh formasi minimalis, yaitu yaitu Trie Utami, Dewa Budjana, Bintang Indrianto, Fariz Alwan, Chaka Priambudi, dan Taufan Irianto Siswadi.

Pada sesi mengenai Sound of Borobudur dalam proyeksi pengembangan bisnis, pembicara seminar dibawakan oleh Menteri Koperasi dan UKM RI, Drs. Teten Masduki. Dalam sesi ini turut berpartisipasi Direktur SMESCO Indonesia (Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi & UKM), Leonard Theosabrata, dan Direktur Utama Badan Otorita Borobudur, Ir. Indah Juanita, serta Direktur Industri Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan Kemenparekraf RI, Dr. Mohammad Amin, S.Sn., M.Sn., MA. Dalam sesi-sesi seminar selanjutnya, dilakukan kajian ilmiah mengenai Sound of Borobudur dalam beberapa perspektif keilmuan. Sesi kajian-kajian tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. Melani Budianta, MA.,
pakar ilmu budaya dari Universitas Indonesia, dengan moderator Redy Eko Prastyo, penggagas sekaligus Ketua Japung Nusantara (Jaringan Kampung Nusantara). Narasumber yang dihadirkan dalam sesi-sesi ini adalah Nurkhotimah, MA. dari Universitas Gajah Mada (tema arkeologi), Drs. Haryanto, M.Ed, dari ISI Jogja (tema etnomusikologi), Dr. Lono Lastoro
Simatupang, MSi. dari Universitas Gajah Mada (tema antropologi), Drs. M Dwi Cahyono, MHum. arkeolog dari Universitas Negeri Malang (tema sejarah dan arkeologi), dan Prof. Dr. M Baiquni dari Universitas Gajah Mada (tema geografi).

Sesi-sesi dalam seminar dan lokakarya ini berlangsung hangat dan dinamis. Antusiasme peserta secara daring dan luring dalam merespon paparan narasumber, dan tanggapan-tanggapan dari para narasumber, menjadi catatan penting dan menarik, yang menjadi basis pijakan ilmiah berkembangnya
tematik Sound of Borobudur ini menjadi sebuah isu yang sangat strategis dalam berbagai aspek.

Secara luas, gerakan Sound of Borobudur telah bergulir menjadi sebuah gerakan kebangsaan melalui budaya, untuk menguatkan jati diri dan identitas bangsa. Borobudur pun telah  memberikan pelajaran berharga tentang nilai-nilai kebhinekaan, toleransi, kebersamaan, serta membangun jiwa nasionalisme, patriotisme, dan rasa cinta kepada tanah air. Perihal bagaimana Sound of Borobudur ke depannya dapat semakin memberikan nilai kemanfaatan
yang nyata, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, tentu saja ini semua akan menjadi tugas yang harus kita pikiran bersama-sama. Disitulahlah gerakan ini harus diterjemahkan ke dalam ranah yang lebih teknis, melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat yang terorganisir, teratur, dan
tersistem. Jadi, saat alat-alat musik yang ada pada panel relief Borobudur telah dibunyikan, maka dunia akan memasang mata dan telinganya pada seruan keindahan yang datang dari bumi Nusantara. Leluhur kita telah meninggalkan sebuah warisan sangat berharga yang harus kita kerjakan bersama dalam semangat membangun bangsa, dengan sebuah sinergi dan harmoni dalam keberagaman.

Penulis: Bachtiar Djanan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *